TIMES SUMEDANG, SUMEDANG – Gelombang adopsi kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/AI) telah menembus hampir seluruh sendi kehidupan modern dari industri, pendidikan, hingga pemerintahan. Di tengah derasnya arus transformasi digital ini, Indonesia justru tampak terjebak dalam ambiguitas narasi regulasi.
Pemerintah terlihat “latah” mengeluarkan kebijakan tanpa arah konseptual yang matang, baik dalam Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020–2045 maupun Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
Kedua dokumen tersebut, yang semestinya menjadi pijakan kebijakan dan panduan etik pengembangan AI nasional, justru memperlihatkan ketidakkonsistenan arah berpikir negara.
Di satu sisi, terdapat semangat mengembangkan ekosistem AI nasional. Di sisi lain, muatannya tidak memberikan kejelasan apakah Indonesia hendak membangun AI sebagai subjek teknologi (produsen dan pengembang) atau sekadar menjadi konsumen pasif dari produk-produk AI global yang kini membanjiri pasar.
Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020–2045 seharusnya menjadi kompas besar arah kebijakan negara. Namun sayangnya, dokumen tersebut tampak minim substansi regulatif dan terlalu normatif. Tidak ada kejelasan mengenai bentuk regulasi yang akan dibangun, apakah berbasis risiko, hak, atau kepentingan ekonomi.
Lebih jauh, isi dokumen itu cenderung berorientasi pada kepentingan industri semata, alih-alih menciptakan fondasi riset dan pengembangan AI nasional berbasis keilmuan.
Sejarah kemajuan teknologi di berbagai negara menunjukkan bahwa inovasi yang berkelanjutan justru berangkat dari ekosistem akademik yang kuat, bukan dari orientasi industri semata.
Perguruan tinggi, dengan otonomi ilmiah dan daya reflektifnya, mestinya menjadi motor utama riset dan pengembangan AI di Indonesia. Dunia akademik tidak seharusnya menjadi menara gading yang jauh dari praktik, namun ia juga tidak boleh dikesampingkan dari proses penentuan arah kebijakan. AI tidak bisa hanya menjadi proyek industri. Ia adalah proyek peradaban.
Kebingungan arah juga terlihat dalam Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Secara teoretis, etika adalah seperangkat nilai moral yang sifatnya lentur dan berkembang sesuai konteks sosial.
Namun surat edaran ini justru menjadikan etika sebagai instrumen normatif yang kaku, bahkan memuat unsur “pelaksanaan dan tanggung jawab” layaknya norma hukum positif.
Pendekatan seperti ini kontraproduktif. Alih-alih memperluas horizon moral dan kesadaran etik, regulasi ini malah “membekukan” etika menjadi sekadar perintah administratif. Etika seharusnya menghidupkan nurani, bukan mengekang kreativitas.
Ironisnya lagi, jika menilik praktik global, panduan etika AI umumnya diterbitkan oleh lembaga legislatif seperti Parlemen Uni Eropa, bukan kementerian teknis. Di sana, etika menjadi produk konsensus sosial-politik yang kuat, bukan sekadar kebijakan birokratis.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih belum memiliki arah narasi yang tegas dalam memposisikan AI-apakah sebagai isu teknologi, hukum, atau moralitas.
Mengutip Anu Bradford dalam buku Digital Empires, terdapat tiga model besar dalam arah pengaturan dunia digital, termasuk AI:
Pertama, Model Eropa, dengan pendekatan berbasis perlindungan hak asasi manusia. Kedua, Model Tiongkok, yang berorientasi pada kepentingan dan keamanan negara. Ketiga, Model Amerika Serikat, yang berpijak pada logika pasar dan kebebasan inovasi.
Tiga model ini bukan sekadar pilihan teknokratis, melainkan refleksi ideologis dari nilai-nilai yang dianut masing-masing kawasan. Di sinilah pentingnya Indonesia menentukan arah-apakah akan memosisikan AI untuk melindungi hak warga, mendukung kekuasaan negara, atau menggerakkan ekonomi pasar.
Namun mencoba menggabungkan ketiganya justru berisiko besar. Indonesia belum memiliki sarana, infrastruktur, budaya riset, maupun kapasitas sumber daya manusia untuk menyeimbangkan ketiga orientasi itu sekaligus. Kombinasi tanpa dasar ideologis yang jelas hanya akan melahirkan kebijakan yang tumpang tindih, tidak konsisten, dan sulit diimplementasikan.
Saatnya Indonesia Menentukan Arah
Indonesia perlu menegaskan posisinya. Regulasi AI harus berpihak kepada perlindungan hak-hak dasar manusia sebagaimana dilakukan Uni Eropa. Model ini tidak hanya relevan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi, tetapi juga memberikan fondasi yang etis dan berkeadilan.
Uni Eropa melalui AI Act telah merumuskan pengaturan komprehensif mulai dari definisi produk berbasis AI, klasifikasi risiko, tanggung jawab produsen dan pengguna, hingga pembentukan lembaga pengawas independen.
Sebelum AI Act terbentuk, mereka bahkan telah memiliki Guidelines on Ethical AI yang disusun dan disahkan oleh parlemen. Langkah ini menjamin legitimasi dan daya ikat hukum yang kuat, tidak seperti surat edaran yang bersifat administratif dan tidak mengikat secara umum.
Pendekatan berbasis hak juga menegaskan bahwa teknologi seharusnya tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan, bukan sebaliknya. AI bukan hanya soal kecerdasan mesin, tetapi juga soal kecerdasan moral manusia dalam mengelolanya.
Jika Indonesia ingin menjadi bagian dari peradaban digital yang bermartabat, maka arah kebijakan hukumnya harus menempatkan manusia sebagai pusat bukan sebagai objek eksperimen teknologi.
Ambiguitas arah regulasi AI di Indonesia merupakan cerminan dari lemahnya visi strategis negara dalam menghadapi era kecerdasan buatan. Pemerintah tampak belum menentukan nilai dasar apa yang hendak dilindungi dan arah apa yang hendak dituju.
Sudah saatnya Indonesia berhenti “menyalin” kebijakan dari luar tanpa refleksi mendalam. AI bukan sekadar instrumen ekonomi, tetapi instrumen kemanusiaan. Maka, pengaturan AI harus berangkat dari kesadaran etik, perlindungan hak, dan tanggung jawab sosial yang berpijak pada nilai-nilai bangsa.
Tanpa itu semua, regulasi AI kita akan terus menjadi serangkaian dokumen formal yang indah di atas kertas, namun hampa arah dan makna.
***
*) Oleh : Ananda Fersa Dharmawan, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Pengamat Hukum Siber.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |