Kopi TIMES

Mewariskan Tradisi Menulis dan Membaca

Selasa, 27 April 2021 - 12:10
Mewariskan Tradisi Menulis dan Membaca Tika Fitriyah, Dosen Kitabah/menulis UIN Sunan Kalijaga.

TIMES SUMEDANG, YOGYAKARTA – Pramoediya pernah berkata bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Kini, ucapannya sudah terbukti, karyanya masih abadi walaupun raganya sudah tiada. Hal tersebut merupakan potret nyata akan peranan menulis dalam kehidupan.

Orang besar mungkin bisa melakukan banyak hal untuk mengubah dunia. Misalnya, pimpinan daerah bisa saja membuat kebijakan yang mampu mengurangi kemacetan dengan membangun fly over, atau misalnya mengurangi pemanasan global dengan membagikan tanaman gratis ke setiap rumah, dan lain sebagainya.     

Sebenarnya, bukan orang besar saja yang mampu mengubah dunia. Tanpa disadari, orang kecil yang tidak punya nama juga bisa mengubah banyak hal. Di antaranya adalah dengan tulisan. Jika mereka berbicara, mungkin tidak selamanya orang lain akan mendengarkannya. Tetapi dengan menulis, banyak orang yang dapat membaca pemikirannya dan mungkin saja mengaplikasikannya.

Ironisnya, banyak orang yang menggunakan kesempatan menulis dengan tidak tepat, padahal tulisannya bagus. Tidak jarang ditemukan tulisan yang berkualitas ditulis di status wa, twitter, Instagram ataupun facebook, yang isinya mengomentari kebijakan pimpinan atau pun sebuah gagasan akan berbagai problematika kemasyarakatan yang terjadi. Padahal jika dikelola dengan baik tentu akan menjadi karya yang abadi dan dapat dinikmati oleh banyak orang. 

Menulis adalah proses berpikir. Bukan hanya berpikir untuk merangkai kata tentunya, tetapi mengelola realita menjadi sebuah gagasan yang dikembangkan dalam tulisan. Hal tersebut jika tulisannya berupa non fiksi. Jika tulisannya fiksi, penulis juga harus piawai mengelola khayalannya menjadi sebuah karya sastra yang bisa dinikmati banyak orang. Bahkan tidak jarang karya sastra ini lebih mudah mempengaruhi pembaca daripada karya tulis ilmiah.

Apapun tulisannya, pada prinsipnya menulis selalu diawali dengan proses membaca. Seseorang yang pandai menulis, tentu merupakan seorang pembaca yang baik. Karena tanpa adanya proses membaca, maka proses berfikir tidak akan dimulai. Setelah proses berpikir itu bekerja, maka lahirlah sebuah gagasan baru yang didapatkan sebagai buah daripada menulis. Dari sini tampaklah relasi yang signifikan antara membaca dan menulis. Kedua seolah satu keping mata uang yang tidak dapat terpisahkan.

Jika kita menengok realitas yang ada di perguruan tinggi, sebagian besar mahasiswa yang mendekati semester akhir pasti banyak bertanya tentang bagaimana mendapatkan ide untuk penulisan skripsi. Jawabannya mengacu pada satu hal, membacalah dan mulailah menulis masalah yang ada dalam bacaan atau yang di luar bacaan yang bersinggungan dengan bacaan. Ini sama halnya seperti seorang pelukis yang tidak akan mampu melukis dengan baik tanpa melihat sebuah objek yang didapatkan dari pencarian ide itu sendiri. 

Menulis dan membaca merupakan dua hal yang harus menjadi sebuah kebiasaan dalam keseharian, baik di lingkungan pekerjaan ataupun di lingkungan masyarakat sekitar. Barangkali keluarga adalah masyarakat pertama yang harus dibina dan didokrin untuk mencintai ilmu pengetahuan. Artinya, belajar membaca dan menulis di tingkat awal harus dilakukan di lingkungan rumah, bukan sekolah.

Dalam hal ini orang tua harus menjadi role model bagi anaknya. Anak yang terbiasa melihat orang tuanya melakukan proses membaca dan menulis di rumah, akan tertarik untuk belajar membaca dan menulis yang pada akhirnya akan tertanamlah sebuah kesadaran bahwa keduanya merupakan kebutuhan dalam hidup. Sama seperti makan, minum dan berpakaian.

Dalam masyarakat perkotaan, keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak bisa dibilang masih minim. Sehingga orang tua sibuk mencari sekolah dengan fasilitas yang baik dan menyerahkan semuanya pada sekolah. Padahal, di level pertama dalam pendidikan anak, rumah merupakan sekolah pertama yang dampaknya akan jauh lebih efektif dari sekolah manapun.

Baik dalam tataran moral ataupun kognitif. Banyak orang tua yang mencari sekolah dengan kurikulum terbaik dan melupakan kurikulum di rumah yang hanya mengalir begitu saja tanpa ada kejelasan. Masa belajar di rumah yang akan berakhir sebentar lagi, sebaiknya dijadikan momentum kedekatan anak dan orang tua yang lebih berkualitas dengan melakukan pembelajaran yang sebenarnya berasaskan model pengajaran kekeluargaan. 

***

*) Oleh: Tika Fitriyah, Dosen Kitabah/menulis UIN Sunan Kalijaga.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Sumedang just now

Welcome to TIMES Sumedang

TIMES Sumedang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.