TIMES SUMEDANG, SUMEDANG – Pengawasan transaksi keuangan berbasis sistem nomor induk kependudukan tanpa batasan oleh Negara adalah salah satu bentuk potensi pelanggaran hak privasi warga negara oleh negara khususnya dalam kasus pengawasan melalui Payment ID.
Hak privasi sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia ini sejatinya telah menjadi hak konstitusional di Indonesia yang dilindungi melalui Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat.
Salah satu bentuk hak asasi yang dimaksud pada Pasal tersebut adalah hak privasi warga negara yang dalam hal ini adalah hak atas rasa aman warga negara dari pengawasan tanpa batasan oleh negara terhadap transaksi warga negaranya. Sayangnya, hal ini belum sepenuhnya terimplementasi.
Potensi pelanggaran ini sesungguhnya bukanlah hal yang muncul tanpa sebab, karena sejatinya ia muncul dari kelemahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi itu sendiri, khususnya dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c.
Dalam rumusan ketentuan ini penggunaan kata yang sepenuhnya ‘mengkhawatirkan’ yaitu ‘dikecualikan’ nya hak-hak privasi warga negara seperti hak untuk menghapus atau mengakhiri pemrosesan data privasi, hak untuk menarik persetujuan pemrosesan data, hak untuk mengajukan keberatan atas pemrosesan otomatis dan pengambilan keputusan berdasarkannya, hak untuk menunda pemrosesan data, dan hak portabilitas data privasi warga negara sangat rentan disalahgunakan oleh oknum pemerintah.
Pengecualian dalam hal ini tidak terjadi dengan batasan yang jelas demi menjamin terjaganya hak asasi atas diri pribadi anggota masyarakat dari kekuasaan pengawasan pemerintah. Intinya pengecualian dalam hal ini diartikan sebagai tidak berlaku sepenuhnya ketentuan tersebut jika berhadapan dengan ‘kepentingan pengawasan moneter’ oleh negara terhadap masyarakatnya.
Dalam hal ini, kerentanan yang paling erat hubungannya dengan pengawasan tanpa batas oleh negara adalah kasus Payment ID, yaitu di mana rentannya penyalahgunaan data privasi masyarakat demi kepentingan politik tertentu, karena umumnya semua informasi ekonomi seluruh lapisan masyarakat Indonesia sangat mudah dipantau tanpa pembatasan waktu atau kriteria objek yang dipantau, sehingga memudahkan pihak-pihak tertentu untuk menyalahgunakan data privasi masyarakat untuk disertakan di dalamnya.
Demi kepentingan pihak tertentu yang menargetkan masyarakat sebagai salah satu sasaran tekanan ekonomi dengan kedok bantuan sosial tanpa masyarakatnya sendiri memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas pelibatan dimaksud sebagai salah satu wujud dari pemrosesan dan pengambilan keputusan sepihak yang dilakukan secara otomatis oleh pihak tertentu.
Hal ini diperparah dengan penjelasan Pasal dimaksud yang menafsirkan salah satu jenis ‘yang dikecualikan dari hak-hak subjek data demi kepentingan sector jasa keuangan’ adalah ‘regulasi berbasis teknologi’.
Penjelasan ini seolah membenarkan pengecualian hak mengajukan keberatan atas keputusan yang diambil secara otomatis atas diri masyarakat dalam kerangka pengawasan sector keuangan oleh pemerintah.
Sebagai pembanding, regulasi serupa juga ditemukan di benua Eropa, tepatnya di dalam Article 23 Paragraph (1) European Union General Data Protection Regulation of 2018 (EU GDPR), namun dengan rumusan kata yang lebih tegas dan jelas yaitu ‘pembatasan yang tetap memperhatikan esensi hak asasi dan kebebasan mendasar serta dilakukan secara proporsional’.
Dalam tulisan ini penulis sengaja mengacu perbandingan dengan regulasi pelindungan data privasi benua Eropa, karena regulasi pelindungan data privasinya diakui oleh para ahli hukum privasi dunia seperti Daniel Solove, Clive Norris, ataupun Graham Greenleaf yang menyebut EU GDPR sebagai Gold Standart of Regulation data privasi dunia.
Hal ini tidaklah berlebihan mengingat regulasi Eropa tidak mengecualikan hak-hak subjek data dalam hal kepentingan moneter negara, melainkan hanya membatasinya dengan tetap menghormati HAM dan dengan syarat harus dilakukan secara proporsional tanpa menghilangkan sepenuhnya hak-hak seperti hak untuk mengajukan keberatan atas pemrosesan otomatis.
***
*) Oleh : Ananda Fersa Dharmawan, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Pengajar serta Pengamat Hukum Siber.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |