https://sumedang.times.co.id/
Opini

RKUHAP, Reformasi Hukum yang Mengancam Hak Warga

Sabtu, 22 November 2025 - 20:22
RKUHAP, Reformasi Hukum yang Mengancam Hak Warga Rully Herdita Ramadhani, S.H., M.H., Faculty of Law, Universitas Padjadjaran.

TIMES SUMEDANG, SUMEDANG – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada Selasa, 18 November 2025. Regulasi ini diproyeksikan menggantikan KUHAP lama (UU No. 8 Tahun 1981) dan mulai berlaku bersamaan dengan KUHP Nasional pada 2 Januari 2026. 

Dalam proses pembahasan, terdapat 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dibedah oleh Komisi III DPR. Namun di balik angka tersebut, terdapat kegelisahan publik yang tidak kalah besar: apakah negara benar-benar mendengar suara masyarakat?

Kekhawatiran itu muncul karena proses legislasi dinilai terburu-buru dan minim partisipasi publik. Koalisi masyarakat sipil mencatat bahwa DPR terkesan mengejar target pengesahan, bukan kualitas perumusan. 

Konsultasi publik memang digelar, tetapi dinilai sekadar formalitas tanpa jaminan bahwa masukan masyarakat betul-betul dipertimbangkan. Minimnya transparansi membuat publik berasumsi bahwa pembahasan RUU ini lebih banyak didorong kepentingan kelompok tertentu dibanding kebutuhan keadilan bagi masyarakat luas.

Salah satu sorotan terbesar adalah potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sejumlah ketentuan dalam RUU KUHAP dianggap memperluas kewenangan aparat penegak hukum, terutama dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Perluasan kewenangan tanpa mekanisme kontrol yang kuat membuka peluang pendekatan represif. 

Di tengah catatan kelam kasus penyalahgunaan wewenang oleh aparat, publik wajar merasa cemas. Menambah kekuasaan tanpa memperkuat pengawasan hanya akan memupuk risiko pelanggaran HAM yang lebih sistemik.

Isu lain adalah mekanisme restorative justice yang diperbarui dalam RUU ini. Meski semangatnya baik, konsep tersebut berpotensi disalahgunakan jika tidak disertai pengawasan yudisial yang kuat. 

Kekhawatiran publik bukan tanpa dasar restorative justice yang longgar dapat menjadi celah pemerasan, termasuk oleh aparat penegak hukum. Demikian pula dengan aturan pemblokiran rekening, yang dalam RUU dapat dilakukan aparat namun rawan disalahgunakan jika tidak diawasi secara ketat dan transparan.

Persoalan berikutnya adalah lemahnya posisi korban dalam sistem peradilan. RUU KUHAP belum menyediakan mekanisme komplain yang efektif bagi korban ketika laporan mereka tidak ditindaklanjuti. Dalam realitas hari ini, masyarakat justru mengandalkan viralitas media sosial agar aparat merespons aduan mereka sebuah ironi di tengah janji reformasi hukum. 

Keterbatasan praperadilan sebagai forum pengawasan aparat menjadi catatan serius. ICJR menunjukkan bahwa praperadilan hanya menilai aspek formal, bukan substansi pelanggaran prosedural, sehingga kontrol hukum menjadi sangat minim.

RUU ini juga menghidupkan kembali konsep “crown witness”, di mana seorang pelaku dapat dijadikan saksi memberatkan bagi terdakwa lain. Ketentuan ini memicu perdebatan karena berpotensi mengingkari prinsip nullus testis unus testis (satu saksi bukan saksi) dan hak terdakwa untuk tidak menjerat dirinya sendiri. Tanpa pengaturan ketat, crown witness justru membuka pintu tekanan dan manipulasi dalam proses peradilan.

Di sisi lain, RUU KUHAP memang membawa angin segar terkait penguatan perlindungan terhadap kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia. Namun, pertanyaan penting tetap menggantung: bagaimana mekanisme tersebut akan diterapkan? Apakah aparat benar-benar siap menjalankannya? Tanpa standar operasional yang kuat, janji perlindungan itu berpotensi berhenti pada teks hukum semata.

Jika dilihat melalui asas due process of law, RUU KUHAP menunjukkan tanda-tanda pelemahan jaminan prosedural. Due process menuntut proses hukum yang adil, transparan, serta memberikan ruang pembelaan yang memadai. Namun RUU ini justru memperluas tindakan paksa tanpa pengawasan pengadilan, sehingga check and balance dalam sistem peradilan pidana terancam melemah. 

Hal tersebut berkaitan langsung dengan asas legalitas dan kepastian hukum, di mana setiap tindakan aparat harus diatur jelas dan diawasi secara ketat. Tanpa itu, legalitas hanya menjadi formalitas yang mudah dilanggar.

Asas persamaan di muka hukum (equality before the law) juga terancam jika mekanisme pengaduan lemah dan akses terhadap keadilan tidak setara antara tersangka, korban, dan kelompok rentan. Demikian pula konsep equality of arms kesetaraan posisi antara aparat penegak hukum dan warga dalam proses litigasi menjadi rapuh jika pengawasan dan akses terhadap pembelaan tidak diperkuat.

Dalam perspektif pemisahan kekuasaan dan checks & balances, kritik mengalir pada pelemahan kontrol yudisial terhadap penyadapan, penyitaan, dan penahanan. Jika pengadilan tidak diberi ruang memadai untuk mengawasi tindakan aparat, maka risiko abuse of power akan meningkat drastis. 

Padahal prinsip HAM dalam proses peradilan pidana seperti hak atas penasihat hukum, larangan penyiksaan, hingga jaminan peradilan yang adil harus menjadi pondasi KUHAP baru, bukan justru dikikis oleh ketentuan yang tidak proporsional.

Risiko yuridis dari RUU KUHAP 2025 pun nyata. Potensi abuse of power meningkat ketika kewenangan aparat tidak diimbangi pengawasan yudisial. Kontrol pengadilan melemah, ketidakpastian hukum membesar, posisi korban tetap rapuh, dan potensi pelanggaran HAM bersifat struktural. Jika semua ini tidak diperbaiki, KUHAP baru bukan menjadi tonggak reformasi, melainkan justru perangkat legal untuk memperkuat kesewenang-wenangan.

Karena itu, sejumlah rekomendasi mendesak perlu dipertimbangkan. Pengawasan yudisial harus diperkuat, termasuk kewajiban izin pengadilan sebelum tindakan paksa dilakukan. 

Restorative justice perlu diatur lebih ketat agar tidak disalahgunakan. Peran korban harus diperjelas, termasuk mekanisme komplain yang efektif dan akses pendampingan hukum. 

Partisipasi publik dalam legislasi harus dibuka seluas-luasnya, bukan sekadar formalitas. Dan yang tidak kalah penting, jaminan perlindungan HAM harus ditegaskan dengan sanksi yang jelas bagi aparat yang melanggar.

Reformasi KUHAP seharusnya menjadi momentum memperkuat negara hukum, bukan melemahkannya. Jika pemerintah dan DPR ingin KUHAP baru diterima sebagai perubahan progresif. 

Maka mereka harus mendengarkan kritik publik dan memperbaiki substansi sebelum pengesahan final. Tanpa itu, kita hanya akan mewarisi regulasi yang secara hukum tampak modern, tetapi secara praksis mengancam keadilan warganya. (*)

***

*) Oleh : Rully Herdita Ramadhani, S.H., M.H., Faculty of Law, Universitas Padjadjaran.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Sumedang just now

Welcome to TIMES Sumedang

TIMES Sumedang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.